Makna Kalimat Syahadat beserta dalil-dalilnya
Masih terngiang-ngiang di telinga kita apa yang
dikatakan guru agama kita di bangku sekolah dasar ketika menerangkan mengenai
makna kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’. Guru kita akan mengajarkan
bahwa kalimat ‘laa ilaha illallah’ itu bermakna ‘Tiada Tuhan selain
Allah’. Namun apakah tafsiran kalimat yang mulia ini sudah benar? Sudahkah
penafsiran ini sesuai dengan yang diinginkan al-Qur’an dan Al Hadits?
Pertanyaan seperti ini seharusnya kita ajukan agar kita memiliki aqidah yang
benar yang selaras dengan al-Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi
terbaik umat ini (baca: salafush sholih).
Sebelumnya kami akan menjelaskan terlebih dahulu
keutamaan kalimat ‘laa ilaha illallah’ agar kita mengetahui
kedudukannya dalam agama yang hanif ini.
KEUTAMAAN KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’
Ibnu Rajab dalam Kalimatul Ikhlas mengatakan,
“Kalimat Tauhid (yaitu Laa Ilaha Illallah, pen) memiliki keutamaan
yang sangat agung yang tidak mungkin bisa dihitung.” Lalu beliau rahimahullah
menyebutkan beberapa keutamaan kalimat yang mulia ini. Di antara yang beliau
sebutkan:
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ merupakan
harga surga
Suatu saat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendengar muazin mengucapkan ‘Asyhadu alla ilaha illallah’. Lalu beliau
mengatakan pada muazin tadi,
{ خَرَجْتَ مِنَ النَّارِ }
“Engkau terbebas dari neraka.” (HR. Muslim no. 873)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
{ مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ }
“Barang siapa yang akhir perkataannya sebelum
meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.”
(HR. Abu Daud.. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul
Mashobih no. 1621)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah kebaikan yang paling
utama
Abu Dzar berkata,
قُلْتُ ياَ رَسُوْلَ اللهِ كَلِّمْنِي بِعَمَلٍ يُقَرِّبُنِي مِنَ الجَنَّةِ
وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ، قَالَ إِذاَ عَمَلْتَ سَيِّئَةً فَاعْمَلْ حَسَنَةً
فَإِنَّهَا عَشْرَ أَمْثَالِهَا، قُلْتُ يَا رَسُوْلَ اللهِ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ مِنَ الْحَسَنَاتِ ، قَالَ هِيَ أَحْسَنُ الحَسَنَاتِ وَهِيَ تَمْحُوْ
الذُّنُوْبَ وَالْخَطَايَا
“Katakanlah padaku wahai Rasulullah, ajarilah aku
amalan yang dapat mendekatkanku pada surga dan menjauhkanku dari neraka.” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila engkau melakukan kejelekan
(dosa), maka lakukanlah kebaikan karena dengan melakukan kebaikan itu engkau
akan mendapatkan sepuluh yang semisal.” Lalu Abu Dzar berkata lagi, “Wahai
Rasulullah, apakah ‘laa ilaha illallah’ merupakan kebaikan?” Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalimat itu (laa ilaha illallah, pen)
merupakan kebaikan yang paling utama. Kalimat itu dapat menghapuskan berbagai
dosa dan kesalahan.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq
beliau terhadap Kalimatul Ikhlas, 55)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah dzikir yang paling utama
Hal ini sebagaimana terdapat pada hadits yang disandarkan kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam (hadits marfu’),
{ أَفْضَلُ الذِّكْرِ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ }
“Dzikir yang paling utama adalah bacaan ‘laa
ilaha illallah’.” (Dinilai hasan oleh Syaikh Al Albani dalam tahqiq beliau
terhadap Kalimatul Ikhlas, 62)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’ adalah amal
yang paling utama, paling banyak ganjarannya, menyamai pahala memerdekakan
budak dan merupakan pelindung dari gangguan setan
Sebagaimana terdapat dalam shohihain
(Bukhari-Muslim) dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
{ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ ، لَهُ
الْمُلْكُ ، وَلَهُ الْحَمْدُ ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ . فِى يَوْمٍ
مِائَةَ مَرَّةٍ ، كَانَتْ لَهُ عَدْلَ عَشْرِ رِقَابٍ ، وَكُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ
حَسَنَةٍ ، وَمُحِيَتْ عَنْهُ مِائَةُ سَيِّئَةٍ ، وَكَانَتْ لَهُ حِرْزًا مِنَ
الشَّيْطَانِ يَوْمَهُ ذَلِكَ حَتَّى يُمْسِىَ ، وَلَمْ يَأْتِ أَحَدٌ بِأَفْضَلَ
مِمَّا جَاءَ بِهِ ، إِلاَّ أَحَدٌ عَمِلَ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ }
“Barangsiapa mengucapkan ‘laa ilaha illallah
wahdahu laa syarika lah, lahul mulku wa lahul hamdu wa huwa ‘ala kulli syay-in
qodiir’ [tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah,
tidak ada sekutu bagi-Nya, milik-Nya kerajaan dan segala pujian. Dia-lah yang
Maha Kuasa atas segala sesuatu] dalam sehari sebanyak 100 kali, maka baginya
sama dengan sepuluh budak (yang dimerdekakan, pen), dicatat baginya 100
kebaikan, dihapus darinya 100 kejelekan, dan dia akan terlindung dari setan
pada siang hingga sore harinya, serta tidak ada yang lebih utama darinya
kecuali orang yang membacanya lebih banyak dari itu.” (HR. Bukhari no.
3293 dan HR. Muslim no. 7018)
Kalimat ‘Laa Ilaha Illallah’
adalah Kunci 8 Pintu Surga, orang yang mengucapkannya bisa masuk lewat pintu
mana saja yang dia sukai
Dari ‘Ubadah bin Shomit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ
وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَابْنُ
أَمَتِهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَأَنَّ
الْجَنَّةَ حَقٌّ وَأَنَّ النَّارَ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ
الْجَنَّةِ الثَّمَانِيَةِ شَاءَ
“Barang siapa mengucapkan ’saya bersaksi
bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya,
dan (bersaksi) bahwa ‘Isa adalah hamba Allah dan anak dari hamba-Nya, dan
kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam serta Ruh dari-Nya, dan (bersaksi
pula) bahwa surga adalah benar adanya dan neraka pun benar adanya, maka Allah
pasti akan memasukkannya ke dalam surga dari delapan pintu surga yang mana saja
yang dia kehendaki.” (HR. Muslim no. 149)
(Lihat Kalimatul Ikhlas, 52-66. Sebagian dalil yang ada sengaja ditakhrij sendiri semampu kami)
(Lihat Kalimatul Ikhlas, 52-66. Sebagian dalil yang ada sengaja ditakhrij sendiri semampu kami)
Inilah sebagian di antara keutamaan kalimat
syahadat laa ilaha illallah dan masih banyak keutamaan yang lain. Namun,
penjelasan ini bukanlah inti dari pembahasan kami kali ini. Di sini kami akan
menyajikan pembahasan mengenai tafsiran laa ilaha illallah yang keliru
yang telah menyebar luas di tengah-tengah kaum muslimin dan juga pemahaman kaum
muslimin yang salah tentang kalimat ini.
Mungkin ada yang bertanya-tanya, “Mengapa sih
terlalu membesar-besarkan masalah ini?” Lha wong hanya berkaitan
dengan penafsiran saja kok dipermasalahkan!” Apa tidak ada pembahasan
yang lain?
Ingat!! Masalah ini bukanlah masalah yang remeh
karena berkaitan dengan penafsiran kalimat yang paling mulia yang merupakan kunci
untuk masuk Islam dan perkataan terakhir yang seharusnya
diucapkan oleh setiap muslim sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir!
Masalah ini berkaitan dengan penafsiran kalimat agung ‘laa ilaha illallah’.
Selanjutnya kami akan menjelaskan terlebih dahulu
pemahaman yang keliru mengenai tafsiran kalimat ini yang telah tersebar di
tengah-tengah masyarakat. Yaitu kalimat yang mulia ini ditafsirkan dengan
“Tiada Tuhan selain Allah.” Semoga Allah memudahkannya.
TAFSIRAN KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’ = ‘TIADA TUHAN SELAIN
ALLAH’
Selama ini diketahui bahwa tafsiran kalimat ‘laa
ilaha illallah’ yang telah diajarkan sejak bangku SD sampai perguruan
tinggi adalah ‘Tiada Tuhan selain Allah’. Yang perlu kita tanyakan, apakah
tafsiran ‘laa ilaha illallah’ seperti ini sudah sesuai dengan
al-Qur’an dan al-Hadits ?
Jika kita perhatikan, Ilah dalam kalimat yang
mulia ini diartikan dengan kata Tuhan. Apakah tafsiran seperti ini sudah tepat?
Mari kita tinjau.
MAKNA ILAH ADALAH TUHAN?
Jika kalimat ‘laa ilaha illallah’
diartikan dengan ‘Tiada Tuhan selain Allah’, maka ilah pada kalimat tersebut
berarti Tuhan. Namun jika kita perhatikan kata Tuhan dalam penggunaan
keseharian bisa memiliki dua makna.
Makna pertama , kata Tuhan berarti pencipta,
pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan (yang merupakan
sifat-sifat rububiyyah Allah).
Makna kedua , kata Tuhan berarti sesembahan (Sucikan Iman Anda,
hal. 17).
Selanjutnya perhatikanlah firman Allah ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
katakan (kepada Muhammad): ‘Raa’ina’, tetapi katakanlah: ‘Unzhurna’, dan
‘dengarlah’.” (QS. Al Baqarah [2] : 104).
Dalam ayat ini, Allah melarang para sahabat untuk
menyebut ra’ina yang artinya perhatikanlah kami, tetapi hendaknya
menggunakan unzhurna.. Mengapa demikian? Karena kata ra’ina juga
sering digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk memanggil Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, namun dalam rangka mengejek, ra’ina dalam penggunaan
orang-orang Yahudi bermakna tolol/bodoh. Karena kata tersebut mengandung dua
makna (bisa bermakna baik dan bisa bermakna buruk), maka Allah melarang yang
demikian. (Lihat Tafsir Surat Al Baqarah, Al ‘Utsaimin)
Begitu juga dengan kalimat ‘laa ilaha
illallah’. Karena kalimat ini merupakan kunci surga, dzikir dan amalan
yang utama, serta paling banyak ganjarannya ketika diucapkan; maka seorang
muslim selayaknya tidak mengartikan kalimat yang mulia ini dengan kata yang
memiliki penafsiran ganda yang di dalamnya kemungkinan bermakna salah . Dari
mana kita bisa menyatakan kata Tuhan pada kalimat ini bermakna keliru dan
salah? Silakan menyimak tulisan selanjutnya.
ILAH = PENCIPTA, PEMBERI RIZKI, DAN
PENGATUR ALAM SEMESTA
Pembahasan pertama, bagaimana kalau ilah pada
kalimat ‘laa ilaha illallah’ bermakna Tuhan yang berarti pencipta,
pemberi rizki, dan pengatur alam semesta (disebut dengan sifat Rububiyah)?
Sebelumnya perlu kami sebutkan di sini bahwasanya
keyakinan tentang Allah sebagai satu-satunya pencipta, satu-satunya penguasa,
satu-satunya pemberi rezeki dan satu-satunya pengatur alam semesta adalah
keyakinan yang benar dan tidak ada keraguan tentangnya. Namun, perlu diketahui
bahwa keyakinan seperti ini juga diakui oleh orang-orang musyrik sebagaimana
terdapat dalam banyak ayat/dalil. Mari kita membuka mushaf dan melihat
dalil-dalil tersebut.
Dalil pertama , Allah ta’ala berfirman,
قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ
السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ
الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ
فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ
“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki
kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan)
pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari
yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur
segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa
kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)
Dalil kedua , firman Allah ta’ala,
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى
يُؤْفَكُونَ
“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada
mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: “Allah”,
maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS.
az-Zukhruf [43]: 87)
Dalil ketiga , firman Allah ta’ala,
لَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ
مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ
أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ
“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada
mereka: “Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air
itu bumi sesudah matinya?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, Katakanlah:
“Segala puji bagi Allah”, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).”
(QS. al-’Ankabut [29]: 63)
Dalil keempat , firman Allah ta’ala,
أَمْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ
خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (do’a)
orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo’a kepada-Nya, dan yang
menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di
bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu
mengingati(Nya).” (QS. an-Naml [27]: 62)
Perhatikanlah! Dalam ayat-ayat di atas terlihat
bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya
yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rezeki, yang menghidupkan dan mematikan,
serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupi mereka untuk
dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada
sifat-sifat rububiyah Allah saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah
ibadah. Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak
beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan
sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12]: 106)
Ibnu Abbas mengatakan, “Di antara keimanan
orang-orang musyrik: Jika dikatakan kepada mereka, ‘Siapa yang menciptakan
langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab, ‘Allah’. Sedangkan mereka
dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.”
‘Ikrimah mengatakan,”Jika kamu menanyakan kepada
orang-orang musyrik: siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka akan
menjawab: Allah. Demikianlah keimanan mereka kepada Allah, namun mereka
menyembah selain-Nya juga.” (Lihat Al-Mukhtashor Al-Mufid, 10-11)
Dari ayat-ayat di atas, terlihat jelas bahwa
keyakinan tentang Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta,
yang menghidupkan dan mematikan juga merupakan keyakinan orang-orang musyrik.
Bagaimana jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan tidak ada
Tuhan selain Allah yang bisa bermakna ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau
‘tidak ada penguasa selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rezeki selain Allah’?
Kalau diartikan demikian, lalu apa yang
membedakan seorang muslim dan orang-orang musyrik? Apa yang membedakan
orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam dan setelah masuk Islam? Dan
perhatikanlah tafsiran semacam ini akan membuka berbagai pintu kesyirikan di
tengah-tengah kaum muslimin. Kenapa demikian?
Karena kaum muslimin akan menyangka bahwa ketika
seseorang sudah mengakui ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada
pemberi rezeki selain Allah’, maka mereka sudah disebut muwahhid (orang yang
bertauhid). Walaupun mereka berdoa dengan mengambil perantaraan selain Allah,
bernazar dengan ditujukan kepada kyai fulan, itu tidaklah mengapa. Ini sungguh
kekeliruan yang sangat fatal. Berarti keyakinan mereka sama saja dengan
keyakinan orang-orang musyrik dahulu yang mengakui sifat-sifat rububiyyah
Allah, namun mereka menyekutukan Allah dalam ibadah seperti doa dan nazar.
Orang-orang musyrik tidak mengingkari sifat rububiyyah semacam ini sebagaimana
terdapat pada ayat-ayat di atas.
Jelaslah pada pembahasan pertama ini kesalahan
tafsiran ‘laa ilaha illallah’ dengan tiada Tuhan selain Allah yang
bermakna tidak ada pencipta selain Allah atau tiada penguasa selain Allah.
Letak kesalahannya adalah karena mengartikan kalimat syahadat ini dengan
sebagian maknanya saja yaitu makna rububiyyah. Sedangkan makna rububiyyah
jelas-jelas juga diakui oleh kaum musyrikin, walaupun kalimat tidak ada
pencipta selain Allah dan semacamnya, pada dasarnya bermakna benar.
HANYA ALLAH SAJA SESEMBAHAN YANG BENAR
Pembahasan kedua adalah bagaimana jika ‘laa
ilaha illallah’ ditafsirkan dengan pengertian Tuhan yang kedua yaitu
sesembahan, maka makna ‘laa ilaha illallah’ menjadi ‘tidak ada
sesembahan selain Allah’.
Sebenarnya pengertian ilah pada tafsiran kedua
sudah benar karena kata ‘ilah‘ secara bahasa berarti sesembahan (ma’bud
atau ma’luh). Dan para ulama juga menafsirkan kata ilah juga
dengan sesembahan. Lihat sedikit penjelasan berikut ini.
Bukti bahwa ilah bermakna sesembahan
(sesuatu yang diibadahi)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, beliau radhiyallahu
‘anhuma memiliki qiro’ah tersendiri pada ayat,
وَقَالَ الْمَلَأُ مِنْ قَوْمِ فِرْعَوْنَ أَتَذَرُ مُوسَى وَقَوْمَهُ
لِيُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَيَذَرَكَ وَآَلِهَتَكَ قَالَ سَنُقَتِّلُ
أَبْنَاءَهُمْ وَنَسْتَحْيِي نِسَاءَهُمْ وَإِنَّا فَوْقَهُمْ قَاهِرُونَ
“Berkatalah pembesar-pembesar dari kaum
Fir’aun (kepada Fir’aun): “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk
membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu dan
ilah-ilahmu?”. Fir’aun menjawab: “Akan kita bunuh anak-anak lelaki mereka dan
kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka. dan sesungguhnya kita berkuasa
penuh di atas mereka.” (QS. Al A’raaf [7] : 127)
Ibnu Abbas sendiri membacanya (وَيَذَرَكَ
وَإِلَاهَتَكَ) dengan mengasroh hamzah, menfathahkan lam, dan sesudahnya huruf
alif. Alasannya, Fir’aun sendiri disembah oleh kaumnya, namun dia tidak
menyembah berhala. Maka qiro’ah yang benar adalah (وَيَذَرَكَ وَإِلَاهَتَكَ)
sebagaimana yang dibaca oleh Ibnu Abbas.
Ibnul Ambariy mengatakan bahwa para ahli bahasa
mengatakan: al ilahah (الإِلاهة) bermakna al ‘ibadah
(العبادة) yaitu peribadahan. Sehingga maksud ayat ‘meninggalkanmu, wahai
Fir’aun dan peribadahan manusia kepadamu’.
Kesimpulannya: Karena ilahah
(الإِلاهة) bermakna ibadah maka ilah bermakna ma’bud (yang
diibadahi/sesembahan).
(Lihat penjelasan Ibnul Jauziy dalam Zadul
Masir, tafsir basmalah dan Al A’raf ayat 127, begitu pula penjelasan
Syaikh Sholih Alu Syaikh dalam At Tamhid hal. 74-75). Sebagai tambahan
penjelasan, makna ilah ini, dapat dilihat pula pada penjelasan ulama
tafsir di pembahasan selanjutnya.
Kita lanjutkan pembahasan di atas. Namun, jika
kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan ‘tidak ada sesembahan
selain Allah’ masih ada kekeliruan karena dapat dianggap bahwa setiap
sesembahan yang ada adalah Allah. Maka Isa putra Maryam adalah Allah karena
merupakan sesembahan kaum Nashrani. Patung-patung kaum musyrikin yaitu Lata,
Uzza dan Manat adalah Allah karena merupakan sesembahan mereka sebagai
perantara kepada Allah. Para wali yang dijadikan perantara dalam berdo’a juga
Allah karena merupakan sesembahan para penyembah kubur. Ini berarti seluruh
sesembahan yang ada adalah Allah. Maka tafsiran yang kedua ini jelas-jelas
merupakan tafsiran yang bathil dan keliru.
Penjelasan di atas bukan kami rekayasa. Sebagai
bukti, pembaca dapat melihat apa yang dikatakan Al Hafizh Al Hakami berikut.
“Jika ada yang mengatakan bahwa tidak ada ilah
(sesembahan) yang ada kecuali Allah, maka hal ini mengonsekuensikan seluruh
sesembahan yang benar dan bathil (salah dan keliru) adalah Allah. Maka jadilah
segala yang disembah kaum musyrik baik matahari, rembulan, bintang, pohon,
batu, malaikat, para nabi, orang-orang sholih dan selainnya adalah Allah. Dan
bisa jadi dengan menyembahnya dikatakan telah bertauhid. Dan ini -wal’iyadzu
billah (kita berlindung kepada Allah dari keyakinan semacam ini)- adalah
kekufuran yang paling besar dan paling jelek secara mutlak. Keyakinan semacam
ini berarti telah membatalkan risalah (wahyu) yang dibawa oleh seluruh rasul,
berarti telah kufur (mengingkari) seluruh kitab dan menentang/ mendustakan
seluruh syari’at. Ini juga berarti telah merekomendasi seluruh orang kafir
karena segala makhluk yang mereka sembah adalah Allah. Maka tidak ada lagi pada
embel-embel syirik tetapi sebaliknya mereka bisa disebut muwahhid (orang yang
bertauhid). Maha Tinggi Allah atas apa yang dikatakan oleh orang-orang zholim
dan orang-orang yang menentang ini.
Jika kita sudah memahami demikian, maka tidak
boleh kita katakan ‘tidak ada sesembahan yang ada kecuali Allah.”Kecuali kita
menambahkan kalimat ‘dengan benar’ pada tafsiran tersebut maka ini tidaklah
mengapa. Jadi tafsiran laa ilaha illallah (yang tepat) menjadi ‘tidak
ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah’.” -Demikian yang
dikatakan Al Hafizh Al Hakami dengan sedikit perubahan redaksi- (Lihat Ma’arijul
Qobul, I/325). (Di samping itu, pemaknaan di atas adalah keliru karena
tidak sesuai dengan kenyataan. Realita menunjukkan terdapat banyak sesembahan
selain Allah. Maka bagaimana mungkin kita katakan tidak ada sesembahan
melainkan Allah?! Sungguh ini adalah kebohongan yang sangat-sangat nyata, ed)
Sebagaimana telah diisyaratkan oleh Al Hafizh di
atas, makna laa ilaha illallah yang tepat adalah ‘tidak ada sesembahan
yang disembah dengan benar kecuali Allah’. Kenapa perlu ditambahkan kalimat ‘yang
disembah dengan benar’?
Jawabnya, karena kenyatannya banyak sesembahan
selain Allah di muka bumi ini. Akan tetapi, sesembahan-sesembahan itu tidak ada
yang berhak untuk disembah melainkan hanya Allah semata.
Bukti harus ditambahkan kalimat ‘yang disembah
dengan benar’ dapat dilihat pada firman Allah ta’ala,
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا
يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ الْبَاطِلُ
“Yang demikian itu dikarenakan Allah adalah
(sesembahan) yang Haq (benar), adapun segala sesuatu yang mereka sembah
selain-Nya adalah (sesembahan) yang Bathil.” (QS. Luqman [31]: 30)
Ayat ini menunjukkan bahwa sesembahan selain
Allah adalah sesembahan yang batil, sesembahan yang tidak berhak untuk
diibadahi dan Allah-lah sesembahan yang benar. Maka tafsiran ‘laa ilaha
illallah’ yang benar adalah ‘laa ma’buda haqqun illallah’ [tidak ada
sesembahan yang berhak disembah/diibadahi kecuali Allah].
TAFSIRAN KALIMAT ‘laa ilaha illallah’
MENURUT PARA ULAMA
Untuk mendukung pendapat di atas, selanjutnya
kami akan membawakan perkataan para pakar tafsir mengenai tafsiran ‘laa
ilaha illallah’ ini, agar kami tidak dianggap membuat-buat tafsiran
tersebut.
Ath Thobary dalam Jami’ul
Bayan fi Ta’wilil Qur’an tatkala menafsirkan firman Allah ta’ala,
اتَّبِعْ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ لَا
إِلَهَ إِلَّا هُوَ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ
“Ikutilah apa yang telah diwahyukan kepadamu
dari Tuhanmu; tidak ada ilah selain Dia; dan berpalinglah dari orang-orang
musyrik.” (QS. Al An’am [6]: 106)
Pada kalimat tidak ada ilah selain Dia
beliau mengatakan,
لا معبود يستحق عليك إخلاص العبادة له إلا الله
‘Tidak ada sesembahan yang berhak bagimu untuk mengikhlaskan ibadah kecuali
Allah’.
Begitu juga pada firman Allah ta’ala,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ
الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi.” (QS. Az Zukhruf [43]:
84)
Beliau mengatakan,
والله الذي له الألوهة في السماء معبود، وفي الأرض معبود كما هو في السماء
معبود، لا شيء سواه تصلح عبادته;
“Allah-lah yang memiliki keberhakan uluhiyyah,
Dia-lah satu-satunya sesembahan di langit. Dia-lah pula satu-satunya sesembahan
di bumi sebagaimana Dia adalah satu-satunya sesembahan di langit. Tidak ada
satu pun selain Allah yang boleh disembah.”
Juga dapat pula dilihat tafsiran beliau pada
firman Allah,
وَأَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Bahwasanya tidak ada ilah selain Dia, … “
(QS. Hud [11]: 14)
Beliau mengatakan,
أن لا معبود يستحق الألوهة على الخلق إلا الله
“Tidak ada sesembahan yang berhak mendapatkan uluhiyyah
(disembah oleh makhluk) kecuali Allah.”
Ibnu Katsir dalam Tafsir Al
Qur’an Al ‘Azhim mengatakan tentang tafsir firman Allah:
وَهُوَ اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Dan Dialah Allah, tidak ada sesembahan (yang
berhak disembah) melainkan Dia.” (QS. Qashash [28]: 70)
هو المنفرد بالإلهية، فلا معبود سواه، كما لا رب
يخلق ويختار سواه
“Maksudnya adalah Allah bersendirian dalam
uluhiyyah, tidak ada sesembahan selain Dia, sebagaimana tidak ada pencipta
selain Dia.”
Asy Syaukani dalam Fathul
Qodhir mengatakan tentang firman Allah pada awal ayat kursi,
{ لاَ إله إِلاَّ هُوَ } أي : لا معبود بحق إلا هو
“Laa ilaha illa huw’ bermakna ‘laa
ma’buda bihaqqin illa huw’ [tidak ada sesembahan yang benar kecuali
Allah].
Begitu juga pada firman Allah,
وَهُوَ الَّذِي فِي السَّمَاءِ إِلَهٌ وَفِي
الْأَرْضِ إِلَهٌ وَهُوَ الْحَكِيمُ الْعَلِيمُ
“Dan Dialah ilah di langit dan ilah di bumi.”
(QS. Az Zukhruf [43]: 84)
Beliau menafsirkan ilah adalah,
معبود ، أو مستحق للعبادة
“Ma’bud (sesembahan) atau yang berhak diibadahi.”
Fakhruddin Ar Rozi -yang
merupakan ulama Syafi’iyyah-, dalam Mafatihul Ghoib mengatakan tentang
tafsir ayat,
ذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ فَاعْبُدُوهُ
“(Yang memiliki sifat-sifat yang) demikian
itu ialah Allah Rabb kamu; tidak ada ilah selain Dia; Pencipta segala sesuatu,
maka sembahlah Dia.” (QS. Al An’am [6]: 102), di mana tidak ada ilah
selain Dia adalah,
لا يستحق العبادة إلا هو ، وقوله : { فاعبدوه } أي
لا تعبدوا غيره
“Tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah,
sedangkan yang dimaksudkan oleh ayat ‘maka sembahlah Dia’ adalah jangan
menyembah kepada selain-Nya.”
As Suyuthi dalam Tafsir Al
Jalalain ketika menafsirkan surat Al Baqarah ayat 255,
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ
“Allah, tidak ada ilah melainkan Dia.”
Beliau langsung menafsirkannya dengan berkata,
لا معبود بحق في الوجود
“Tidak ada sesembahan yang berhak disembah di
alam semesta ini selain Allah.”
Itulah tafsiran para ulama yang sangat mendalam
ilmunya. Tafsiran mereka terhadap kalimat yang mulia ini walaupun dengan
berbagai lafadz, namun kembali pada satu makna. Kesimpulannya, makna ‘laa
ilaha illallah’ adalah tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar
kecuali Allah.
ORANG-ORANG MUSYRIK LEBIH PAHAM MAKNA LAA
ILAHA ILLALLAH
Setelah kita melihat tafsiran yang tepat dari
kalimat laa ilaha illallah.. Kita dapat melihat bahwasanya orang-orang musyrik
dahulu sebenarnya lebih paham tentang laa ilaha illallah daripada umat Islam
saat ini khusunya para da’inya.
Pernyataan ini dapat dilihat dalam perkataan Syaikh Muhammad At Tamimi dalam kitab beliau Kasyfu Syubuhat. Beliau rahimahullah berkata,”Orang kafir jahiliyyah mengetahui bahwa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan dengan kalimat (laa ilaha illallah, pen) adalah mengesakan Allah dengan menyandarkan hati kepada-Nya dan kufur (mengingkari) serta berlepas diri dari sesembahan selain-Nya.”
Pernyataan ini dapat dilihat dalam perkataan Syaikh Muhammad At Tamimi dalam kitab beliau Kasyfu Syubuhat. Beliau rahimahullah berkata,”Orang kafir jahiliyyah mengetahui bahwa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maksudkan dengan kalimat (laa ilaha illallah, pen) adalah mengesakan Allah dengan menyandarkan hati kepada-Nya dan kufur (mengingkari) serta berlepas diri dari sesembahan selain-Nya.”
Apa yang membuktikan bahwa orang-orang kafir
memahami kalimat laa ilaha illallah?
Beliau rahimahullah melanjutkan
perkataan di atas, “Yaitu ketika dikatakan kepada mereka, ‘Katakanlah laa ilaha
illallah.’ Mereka menjawab,
أَجَعَلَ الْآَلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا
لَشَيْءٌ عُجَابٌ
“Mengapa ia menjadikan sesembahan-sesembahan
itu menjadi ilah (sesembahan) yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu
hal yang sangat mengherankan.” (QS. Shaad [38]: 5)”
Lihatlah orang-orang musyrik sudah memahami bahwa
laa ilaha illallah adalah laa ma’buda bihaqqin illallah
[tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah] dan mereka
mengingkari yang demikian, namun mereka sama sekali tidak mengingkari bahwa
Allah adalah pencipta dan pemberi rizki.
Syaikh Muhammad At Tamimi melanjutkan lagi, “Jika
kamu sudah mengetahui bahwa orang musyrik mengetahui yang demikian (bahwa laa
ilaha illallah bermakna tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali
Allah, pen); maka sungguh sangat mengherankan di mana para da’i yang
mendakwahkan islam tidak mengetahui tafsiran kalimat laa ilaha illallah
sebagaimana yang diketahui oleh orang kafir jahiliyyah. Bahkan orang-orang
tersebut mengira bahwa laa ilaha illallah cukup diucapkan saja tanpa
meyakini maknanya. Dan pakar ahli (orang-orang pintar dari ahli kalam dan ahli
bid’ah, pen) di antara mereka pun menyangka bahwa makna laa ilaha illallah
adalah tidak ada pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta kecuali Allah.
Maka tidak ada satu pun kebaikan pada seseorang di mana orang kafir jahiliyyah
lebih mengetahui dari dirinya mengenai makna laa ilaha illallah.”
(Lihat Syarh Kasyfi Syubuhaat Al ‘Utsaimin, hal. 27-28 dan Ad
Dalail wal Isyarot, hal. 48-51).
Demikianlah sangat disayangkan sekali, para
cendekiawan muslim dan para da’i yang mengajari umat tentang islam banyak yang
tidak memahami laa ilaha illallah sebagaimana yang dipahami oleh
orang-orang musyrik. Dan kebanyakan pakar Islam sendiri -yang kebanyakan adalah
ahli kalam serta tertular virus Asya’iroh dan Mathuridiyyah- hanya memaknai
kalimat laa ilaha illallah dengan ‘tidak ada pencipta selain Allah’,
atau ‘tidak ada pengatur alam semesta selain Allah’, atau ‘tidak ada pemberi
rizki selain Allah’ di mana tafsiran tersebut hanya terbatas pada sifat
rububiyyah Allah saja. Lalu apa kelebihan mereka dari orang-orang musyrik
dahulu?! Renungkanlah hal ini!!
KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’ BUKAN
HANYA DI LISAN
Pada awal tulisan ini kami telah menjelaskan
mengenai keutamaan laa ilaha illallah, di mana kalimat ini adalah
sebaik-baik dzikir dan akan mendapatkan buah yang akan diperoleh di dunia dan
di akhirat. Namun, perlu diketahui bahwasanya kalimat laa ilaha illallah
tidaklah diterima dengan hanya diucapkan semata. Banyak orang yang salah dan
keliru dalam memahami hadits-hadits tentang keutamaan laa ilaha illallah.
Mereka menganggap bahwa cukup mengucapkannya di akhir kehidupan -misalnya-,
maka seseorang akan masuk surga dan terbebas dari siksa neraka. Hal ini
tidaklah demikian.
Semua muslim pasti telah memahami bahwa segala
macam bentuk ibadah tidaklah diterima begitu saja kecuali dengan terpenuhi
syarat-syaratnya. Misalnya saja shalat. Ibadah ini tidak akan diterima kecuali
jika terpenuhi syaratnya seperti wudhu. Begitu juga dengan puasa, haji dan
ibadah lainnya, semua ibadah tersebut tidak akan diterima kecuali dengan
memenuhi syarat-syaratnya. Maka begitu juga dengan kalimat yang mulia ini.
Kalimat laa ilaha illallah tidak akan diterima kecuali dengan
terpenuhi syarat-syaratnya.
Oleh karena itu, para ulama terdahulu (baca:
ulama salaf) telah mengisyaratkan kepada kita mengenai pentingnya memperhatikan
syarat laa ilaha illallah. Lihatlah di antara perkataan mereka berikut
ini.
Al Hasan Al Bashri rahimahullah pernah
diberitahukan bahwa orang-orang mengatakan, “Barang siapa mengucapkan laa
ilaha illallah maka dia akan masuk surga.” Lalu beliau rahimahullah
mengatakan, “Barang siapa menunaikan hak kalimat tersebut dan juga kewajibannya,
maka dia akan masuk surga.”
Wahab bin Munabbih telah ditanyakan, “Bukankah
kunci surga adalah laa ilaha illallah?” Beliau rahimahullah
menjawab, “Iya betul. Namun, setiap kunci itu pasti punya gerigi. Jika kamu
memasukinya dengan kunci yang memiliki gerigi, pintu tersebut akan terbuka.
Jika tidak demikian, pintu tersebut tidak akan terbuka.” Beliau rahimahullah
mengisyaratkan bahwa gerigi tersebut adalah syarat-syarat kalimat laa ilaha
illallah. (Lihat Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar, I/179-180)
MENGENAL SYARAT laa ilaha illallah
Dari hasil penelusuran dan penelitian terhadap
al-Qur’an dan As Sunnah, para ulama akhirnya menyimpulkan bahwa kalimat laa
ilaha illallah tidaklah diterima kecuali dengan memenuhi tujuh syarat
berikut :
[1] Mengilmui maknanya yang meniadakan
kejahilan (bodoh)
[2] Yakin yang meniadakan
keragu-raguan
[3] Menerima yang meniadakan
sikap menentang
[4] Patuh yang meniadakan sikap
meninggalkan
[5] Jujur yang meniadakan dusta
[6] Ikhlas yang meniadakan
syirik dan riya’
[7] Cinta yang meniadakan benci
Penjelasan ketujuh syarat di atas adalah
sebagai berikut:
Syarat pertama adalah mengilmui
makna laa ilaha illallah
Maksudnya adalah menafikan peribadahan
(penghambaan) kepada selain Allah dan menetapkan bahwa Allah satu-satunya yang patut
diibadahi dengan benar serta menghilangkan sifat kejahilan (bodoh) terhadap
makna ini.
Allah ta’ala berfirman,
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak
ada sesembahan yang benar selain Allah.” (QS. Muhammad [47]: 19)
Begitu juga Allah ta’ala berfirman,
إِلَّا مَنْ شَهِدَ بِالْحَقِّ وَهُمْ يَعْلَمُونَ
“Akan tetapi (orang yang dapat memberi
syafa’at ialah) orang yang mengakui dengan benar (laa ilaha illallah) dan
mereka meyakini(nya).” (QS. Az Zukhruf: 86)
قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ
وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang
mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang
berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. Az Zumar [39]: 9)
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ
الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di
antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.” (QS. Fathir [35]: 28)
Dalam kitab shohih dari ‘Utsman, beliau berkata
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللَّهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa mati dalam keadaan mengetahui
bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk surga.”
(HR. Muslim no. 145)
Syarat kedua adalah meyakini
kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya adalah seseorang harus meyakini kalimat
ini seyakin-yakinnya tanpa boleh ada keraguan sama sekali. Yakin adalah ilmu
yang sempurna.
Allah ta’ala memberikan syarat benarnya
keimanan seseorang kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan sifat tidak ada
keragu-raguan. Sebagaimana dapat dilihat pada firman Allah,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا
بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu
hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya,
kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan
jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS.
Al Hujurat [49]: 15)
Apabila seseorang ragu-ragu dalam keimanannya,
maka termasuklah dia dalam orang-orang munafik -wal ‘iyadzu billah [semoga
Allah melindungi kita dari sifat semacam ini]. Allah ta’ala mengatakan
kepada orang-orang munafik tersebut,
إِنَّمَا يَسْتَأْذِنُكَ الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَارْتَابَتْ قُلُوبُهُمْ فَهُمْ فِي رَيْبِهِمْ
يَتَرَدَّدُونَ
“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu,
hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan
hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya.”
(QS. At Taubah: 45)
Dalam beberapa hadits, Allah mengatakan bahwa
orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan masuk surga dengan
syarat yakin dan tanpa ada keraguan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى
رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فِيهِمَا
إِلاَّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Tidak ada seorang hamba pun
yang bertemu Allah (baca: meninggal dunia) dengan membawa keduanya dalam
keadaan tidak ragu-ragu kecuali Allah akan memasukkannya ke surga.” (HR.
Muslim no. 147)
Dari Abu Hurairah juga, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنِّى
رَسُولُ اللَّهِ لاَ يَلْقَى اللَّهَ بِهِمَا عَبْدٌ غَيْرَ شَاكٍّ فَيُحْجَبَ
عَنِ الْجَنَّةِ
“Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang
benar kecuali Allah dan aku adalah utusan Allah. Seorang hamba yang bertemu
Allah dengan keduanya dalam keadaan tidak ragu-ragu, Allah tidak akan menghalanginya
untuk masuk surga.” (HR. Muslim no. 148)
Syarat ketiga adalah menerima
kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya adalah seseorang menerima kalimat
tauhid ini dengan hati dan lisan, tanpa menolaknya.
Allah telah mengisahkan kebinasaan orang-orang
sebelum kita dikarenakan menolak kalimat ini. Lihatlah pada firman Allah ta’ala,
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي
قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلَّا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آَبَاءَنَا
عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آَثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ
جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آَبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا
بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ
كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ (25)
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum
kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang
yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati
bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut
jejak-jejak mereka”.(Rasul itu) berkata: “Apakah (kamu akan mengikutinya juga)
sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk
daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab:
“Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya.”
Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang
yang mendustakan itu.” (QS. Az Zukhruf [43]: 23-25)
Dalam kitab shohih dari Abu Musa radhiyallahu
‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
مَثَلُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى
وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ الْغَيْثِ الْكَثِيرِ أَصَابَ أَرْضًا ، فَكَانَ مِنْهَا
نَقِيَّةٌ قَبِلَتِ الْمَاءَ ، فَأَنْبَتَتِ الْكَلأَ وَالْعُشْبَ الْكَثِيرَ ،
وَكَانَتْ مِنْهَا أَجَادِبُ أَمْسَكَتِ الْمَاءَ ، فَنَفَعَ اللَّهُ بِهَا
النَّاسَ ، فَشَرِبُوا وَسَقَوْا وَزَرَعُوا ، وَأَصَابَتْ مِنْهَا طَائِفَةً
أُخْرَى ، إِنَّمَا هِىَ قِيعَانٌ لاَ تُمْسِكُ مَاءً ، وَلاَ تُنْبِتُ كَلأً ،
فَذَلِكَ مَثَلُ مَنْ فَقِهَ فِى دِينِ اللَّهِ وَنَفَعَهُ مَا بَعَثَنِى اللَّهُ
بِهِ ، فَعَلِمَ وَعَلَّمَ ، وَمَثَلُ مَنْ لَمْ يَرْفَعْ بِذَلِكَ رَأْسًا ،
وَلَمْ يَقْبَلْ هُدَى اللَّهِ الَّذِى أُرْسِلْتُ بِهِ
“Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang aku bawa
dari Allah adalah seperti air hujan lebat yang turun ke tanah. Di antara tanah
itu ada yang subur yang dapat menyimpan air dan menumbuhkan rerumputan. Juga
ada tanah yang tidak bisa menumbuhkan rumput (tanaman), namun dapat menahan
air. Lalu Allah memberikan manfaat kepada manusia (melalui tanah tadi, pen);
mereka bisa meminumnya, memberikan minum (pada hewan ternaknya, pen) dan bisa
memanfaatkannya untuk bercocok tanam. Tanah lainnya yang mendapatkan hujan
adalah tanah kosong, tidak dapat menahan air dan tidak bisa menumbuhkan rumput
(tanaman). Itulah permisalan orang yang memahami agama Allah dan apa yang aku
bawa (petunjuk dan ilmu, pen) bermanfaat baginya yaitu dia belajar dan
mengajarkannya. Permisalan lainnya adalah permisalah orang yang menolak
(petunjuk dan ilmu tadi, pen) dan tidak menerima petunjuk Allah yang aku bawa.”
(HR. Bukhari no. 79 dan Muslim no. 2093. Lihat juga Syarh An Nawawi,
7/483 dan Fathul Bari , 1/130)
Syarat keempat adalah inqiyad
(patuh) kepada syari’at Allah
Maksudnya adalah meniadakan sikap meninggalkan
yaitu seorang yang mengucapkan laa ilaha illallah haruslah patuh
terhadap syari’at Allah serta tunduk dan berserah diri kepada-Nya. Karena
dengan inilah, seseorang akan berpegang teguh dengan kalimat laa ilaha
illallah.
Oleh karena itu, Allah ta’ala berfirman,
وَمَنْ يُسْلِمْ وَجْهَهُ إِلَى اللَّهِ وَهُوَ
مُحْسِنٌ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh.” (QS. Luqman [31]: 22)
Yang dimaksudkan dengan ‘telah berpegang kepada
buhul tali yang kokoh’ adalah telah berpegang dengan laa ilaha illallah.
Dalam ayat ini, Allah mempersyaratkan untuk
berserah diri (patuh) pada syari’at Allah dan inilah yang disebut muwahhid
(orang yang bertauhid) yang berbuat ihsan (kebaikan). Maka barangsiapa tidak
berserah diri kepada Allah maka dia bukanlah orang yang berbuat ihsan sehingga
dia bukanlah orang yang berpegang teguh dengan buhul tali yang kuat yaitu
kalimat laa ilaha illallah. Inilah makna firman Allah pada ayat
selanjutnya,
وَمَنْ كَفَرَ فَلَا يَحْزُنْكَ كُفْرُهُ إِلَيْنَا
مَرْجِعُهُمْ فَنُنَبِّئُهُمْ بِمَا عَمِلُوا إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِذَاتِ
الصُّدُورِ (23) نُمَتِّعُهُمْ قَلِيلًا ثُمَّ نَضْطَرُّهُمْ إِلَى عَذَابٍ غَلِيظٍ
(24)
“Dan barang siapa kafir (tidak patuh) maka
kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. Hanya kepada Kami-lah mereka kembali,
lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala isi hati. Kami biarkan mereka bersenang-senang
sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.”
(QS. Luqman [31]: 23-24)
(Jadi perbedaan qobul (menerima, syarat
ketiga) dengan inqiyad (patuh, syarat keempat) adalah sebagai berikut.
Qobul itu terkait dengan hati dan lisan. Sedangkan inqiyad
terkait dengan ketundukkan anggota badan, ed).
Syarat kelima adalah jujur
dalam mengucapkannya
Maksudnya adalah seseorang yang mengucapkan
kalimat ikhlas laa ilaha illallah harus benar-benar jujur (tidak ada
dusta) dalam hatinya dan juga diikuti dengan pembenaran dalam lisannya.
Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang
munafik -karena kedustaan mereka- pada firman-Nya,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ آَمَنَّا بِاللَّهِ
وَبِالْيَوْمِ الْآَخِرِ وَمَا هُمْ بِمُؤْمِنِينَ (8) يُخَادِعُونَ اللَّهَ
وَالَّذِينَ آَمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ
(9) فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَهُمُ اللَّهُ مَرَضًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
بِمَا كَانُوا يَكْذِبُونَ (10)
“Di antara manusia ada yang mengatakan: “Kami
beriman kepada Allah dan Hari kemudian ,” pada hal mereka itu sesungguhnya
bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang
beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.
Dalam hati mereka ada penyakit , lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi
mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta.” (QS. Al Baqarah [2]:
8-10)
Begitu juga pada firman-Nya,
إِذَا جَاءَكَ الْمُنَافِقُونَ قَالُوا نَشْهَدُ
إِنَّكَ لَرَسُولُ اللَّهِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِنَّكَ لَرَسُولُهُ وَاللَّهُ
يَشْهَدُ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَكَاذِبُونَ (1)
“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu,
mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul
Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan
Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang
pendusta.” (QS. Al Munafiqun [63]: 1)
Untuk mendapatkan keselamatan dari api neraka
tidak hanya cukup dengan mengucapkan kalimat tauhid tersebut, tetapi juga harus
disertai dengan pembenaran (kejujuran) dalam hati. Maka semata-mata diucapkan
tanpa disertai dengan kejujuran dalam hati, tidaklah bermanfaat.
Lihatlah hadits dari Mu’adz bin Jabal, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ
حَرَّمَهُ اللَّهُ عَلَى النَّارِ
“Tidaklah seseorang bersaksi bahwa tidak ada
sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya
dengan kejujuran dari dalam hatinya, kecuali Allah akan mengharamkan neraka
baginya.” (HR. Bukhari no. 128)
Syarat keenam adalah ikhlas
dalam beramal
Maksudnya adalah seseorang harus membersihkan
amal -dengan benarnya niat- dari segala macam kotoran syirik. Allah ta’ala
berfirman,
أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah ketaatan
(baca: ibadah) yang ikhlas (bersih dari syirik).” (QS.
Az Zumar [39]: 3)
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ
مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan ikhlas (memurnikan) keta’atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama yang lurus.” (QS. Al Bayyinah [98]: 5)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan ikhlas
(memurnikan) keta’atan kepada-Nya.” (QS. Az Zumar [39]: 2)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِى يَوْمَ
الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ ، خَالِصًا مِنْ قَلْبِهِ أَوْ
نَفْسِهِ
“Orang yang berbahagia karena mendapat
syafa’atku pada hari kiamat nanti adalah orang yang mengucapkan laa ilaha
illallah dengan ikhlas dalam hatinya atau dirinya.” (HR. Bukhari no. 99)
Syarat ketujuh adalah mencintai
kalimat laa ilaha illallah
Maksudnya adalah seseorang yang mengucapkan
kalimat ini mencintai (tidak benci pada) Allah, Rasul dan agama Islam serta
mencintai pula kaum muslimin yang menegakkan kalimat ini dan menahan diri dari
larangan-Nya. Dia juga membenci orang yang menyelisihi kalimat laa ilaha
illallah, dengan melakukan kesyirikan dan kekufuran yang merupakan
pembatal kalimat ini.
Yang menunjukkan adanya syarat ini pada keimanan
seorang muslim adalah firman Allah ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ
أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا
لِلَّهِ
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang
menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana
mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya
kepada Allah.” (QS. Al Baqarah [2]: 165)
Dalam ayat ini, Allah mengabarkan bahwa
orang-orang mukmin sangat cinta kepada Allah. Hal ini dikarenakan mereka tidak
menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dalam cinta ibadah. Sedangkan orang-orang
musyrik mencintai sesembahan-sesembahan mereka sebagaimana mereka mencintai
Allah. Tanda kecintaan seseorang kepada Allah adalah mendahulukan kecintaan
kepada-Nya walaupun menyelisihi hawa nafsunya dan juga membenci apa yang
dibenci Allah walaupun dia condong padanya. Sebagai bentuk cinta pada Allah
adalah mencintai wali Allah dan Rasul-Nya serta membenci musuhnya, juga
mengikuti Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, mencocoki jalan
hidupnya dan menerima petunjuknya.
(Pembahasan syarat laa ilaha illallah
ini diringkas dari dua kitab: (1) Ma’arijul Qobul, I/ 327-332 dan (2) Fiqhul
Ad’iyyah wal Adzkar, I/180-184)
Inilah syarat-syarat yang harus dipenuhi agar
seseorang bisa mendapatkan keutamaan laa ilaha illallah. Jadi, untuk
mendapatkan keutamaan-keutamaan laa ilaha illallah bukanlah hanyalah
di lisan saja, namun hendaknya seseorang memenuhi syarat-syarat ini dengan
amalan/ praktek (tanpa mesti dihafal). Semoga Allah menjadikan kita termasuk
orang-orang yang mampu meyakini makna kalimat tauhid, mengamalkan
konsekuensi-konsekuensinya dalam perkataan maupun perbuatan, dan semoga kita
mati dalam keadaan mu’min.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
“Barang siapa yang akhir perkataannya adalah
‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.” (HR. Abu Daud. Dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih no. 1621)
Melihat hadits tersebut, kami teringat pada
sebuah kisah yang sangat menarik dan menakjubkan. Kisah ini diceritakan oleh Al
Khotib Al Baghdadi, dalam Tarikh Bagdad 10/335. Berikut kisah
tersebut.
Abu Ja’far At Tusturi mengatakan, “Kami pernah
mendatangi Abu Zur’ah Ar Rozi yang dalam keadaan sakaratul maut di Masyahron.
Di sisi Abu Zur’ah terdapat Abu Hatim, Muhammad bin Muslim, Al Munzir bin
Syadzan dan sekumpulan ulama lainnya. Mereka ingin mentalqinkan Abu Zur’ah
dengan mengajari hadits talqin sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam,
لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ
“Talqinkanlah (tuntunkanlah) orang yang akan
meninggal di antara kalian dengan bacaan: ‘laa ilaha illallah’.” (HR.
Muslim no. 2162)
Namun mereka malu dan takut pada Abu Zur’ah untuk
mentalqinkannya. Lalu mereka berkata, “Mari kita menyebutkan haditsnya (dengan
sanadnya/ jalur periwayatannya).”
Muhammad bin Muslim lalu mengatakan, “Adh Dhohak
bin Makhlad telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid
bin Ja’far, (beliau berkata), dari Sholih” Kemudian Muhammad tidak
meneruskannya.
Abu Hatim kemudian mengatakan, “Bundar telah
menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu ‘Ashim telah menceritakan
kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin Ja’far, (beliau berkata),
dari Sholih.” Lalu Abu Hatim juga tidak meneruskannya dan mereka semua diam.
Kemudian Abu Zur’ah yang berada dalam sakaratul
maut mengatakan, “Bundar telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), Abu
‘Ashim telah menceritakan kepada kami, (beliau berkata), dari Abdul Hamid bin
Ja’far, (beliau berkata), dari Sholih bin Abu ‘Arib, (beliau berkata), dari
Katsir bin Murroh Al Hadhromiy, (beliau berkata), dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata,Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
مَنْ كَانَ آخِرُ كَلَامِهِ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللهُ دَخَلَ الجَنَّةَ
Setelah itu, Abu Zur’ah rahimahullah
langsung meninggal dunia..
Abu Zur’ah meninggal pada akhir bulan Dzulhijjah
tahun 264 H.
Lihatlah kisah Abu Zur’ah. Akhir nafasnya, dia
tutup dengan kalimat syahadat laa ilaha illallah. Bahkan beliau rahimahullah
mengucapkan kalimat tersebut sambil membawakan sanad dan matan hadits, yang hal
ini sangat berbeda dengan kebanyakan orang-orang yang berada dalam sakaratul
maut.
Oleh karena itu, marilah kita persiapkan bekal
ini untuk menghadapi kematian kita. Tidak ada bekal yang lebih baik daripada
bekal kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’ ini. Namun ingat! Tentu saja
kalimat laa ilaha illallah bisa bermanfaat dengan memenuhi
syarat-syaratnya, dengan selalu memohon pertolongan dan hidayah Allah.
Ya Hayyu, Ya Qoyyum. Wahai Zat yang Maha
Hidup lagi Maha Kekal. Dengan rahmat-Mu, kami memohon kepada-Mu. Perbaikilah
segala urusan kami dan janganlah Engkau sandarkan urusan tersebut pada diri
kami, walaupun hanya sekejap mata. Amin Yaa Mujibbas Sa’ilin.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin.
Semoga Allah selalu memberikan ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib, dan
menjadikan amalan kita diterima di sisi-Nya. Innahu sami’un qoriibum mujibud
da’awaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa
shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Selesai disusun di Yogyakarta,
saat musim haji (21 Dzulhijjah 1428 H)
bertepatan dengan 30 Desember 2007
saat musim haji (21 Dzulhijjah 1428 H)
bertepatan dengan 30 Desember 2007
Semoga Allah meneriman dan membalas amalan ini.
Sumber Rujukan:
- Ad Dalail wal Isyarot ‘ala Kasyfi Syubuhat, Syaikh Sholih bin Muhammad Al Asmariy, Adhwa’us salaf
- Al Mukhtashor Al Mufid fi Bayani Dalaili Aqsamit Tauhid, Abdur Rozaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Dar Al Imam Ahmad
- At Tamhiid lisyarhi Kitabit Tauhid, Syaikh Sholih Alu Syaikh, Darut Tauhid
- Fathul Bari, Ibnu Hajar, Mawqi’ul Islam – Maktabah Syamilah 5
- Fathul Qodhir, Asy Syaukani, Mawqi’ At Tafasir – Maktabah Syamilah 5
- Fiqhul Ad’iyyah wal Adzkar – Al Qismul Awwal, Abdur Rozaq bin Abdul Muhsin Al Badr, Dar Ibni ‘Affan
- Imam Syafi’i Menggugat Syirik, Abdullah Zaen, Maktabah Al Hanif
- Jami’ul Bayan fi Ta’wilil Qur’an, Muhammad bin Jarir Abu Ja’far Ath Thobary, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, Mawqi’ Majma’ Al Mulk Fahd Li Thoba’atil Mush-haf Syarif – Maktabah Syamilah 5
- Kalimatul Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, Ibnu Rojab Al Hanbali, Tahqiq: Zuhair Asy Syaqisy, Al Maktab Al Islamiy Beirut – Maktabah Syamilah 5
- Kalimatul Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, Ibnu Rojab Al Hanbali, Tahqiq dan Takhrij: Al ‘Alamah Al Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al Albany, Maktabah Syamilah 5
- Ma’arijul Qobul bi Syarhi Sullamil Wushul ila ‘Ilmil Ushul fit Tauhid: Juz I, Asy Syaikh Hafizh bin Ahmad Hakamiy, Darul Hadits Al Qohiroh
- Mafatihul Ghoib, Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin Al Hasan bin Al Husain At Taimiy Ar Roziy (Fakhruddin Ar Rozi), Mawqi’ut Tafsir – Maktabah Syamilah 5
- Misykatul Mashobih, Muhammad bin Abdillah Al Khotib At Tibriziy, Tahqiq: Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islamiy Beirut-Maktabah Syamilah 5
- Shohih Bukhari, Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mugiroh Al Bukhari Abu Abdillah, Mawqi’ Wizarotil Awqof Al Mishriyyah-Maktabah Syamilah 5
- Shohih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj Abul Hasan Al Qusyairiy An Naisaburi, Mawqi’ Wizarotil Awqof Al Mishriyyah-Maktabah Syamilah 5
- Sucikan Iman Anda dari Noda Syirik dan Penyimpangan, Abu ‘Isa Abdullah bin Salam, Pustaka Muslim
- Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, Mawqi’ul Islam – Maktabah Syamilah 5
- Syarh Kasyfi Syubuhaat, Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Tahqiq: Haniy Al Hajj, Maktabah Al ‘Ilmi
- Tafsir Al ‘Alamah Muhammad Al ‘Utsaimin, Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, Mawqi’ Al ‘Alamah Al ‘Utsaimin-Maktabah Syamilah 5
- Tafsir Al Jalalain, Al Mahalli As Suyuthiy, Mawqi’ At Tafasir – Maktabah Syamilah 5
- Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir Al Qurasyi Ad Dimasyqi, Maktabah Syamilah 5
- Tarikh Bagdad-Al Khotib Al Bagdadi, Ahmad bin Ali Abu Bakr Al Khotib Al Bagdadi, Darul Kutub Ilmiyyah Beirut – Maktabah Syamilah 5
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar